Perkawinan Lesbian

19 April 1981 masyarakat Indonesia dikejutkan pemberitaan perkawinan 2 lesbian yang digelar di Pub daerah Blok M Jakarta Selatan. Dihadiri sekitar 120 undangan. Tentu saja peristiwa ini menjadi pemberitaan yang menghebohkan di kalangan masyarakat, bahkan tidak sedikit yang mengutuknya.

Pengamat homoseksual Barat, Tom Boellstorff dalam bukunya The Gay Archipelago, Sexuality and Nation in Indonesia, justru memuji keberanian pasangan ini & menobatkannya sebagai pejuang yang berani membela hak-hak lesbian yang harus diakui publik Indonesia.

Saat Patrialis Akbar menjabat sebagai Menteri Hukum & Hak Asasi Manusia, kaum Nabi Luth ini menuntut pengadaan ruang berhubungan seks di penjara. Khusus narapidana lesbian, gay, biseksual, & transgender (LGBT). Seperti orang yang telah terputus urat malunya, dengan lantangnya mereka berkata: “Bagaimanapun, LGBT memiliki hak untuk menyalurkan hasrat biologisnya”.

Baru-baru ini, kembali dihebohkan dengan kehadiran praktisi lesbian Kanada. Untuk launching buku terbarunya. Sekaligus ingin menyadarkan bangsa Indonesia, tidak ada yang salah dengan orientasi seksual sesama jenis.

Jelas kehadiran tokoh lesbi yang berkedok launching buku & diskusi ini memancing kemarahan ormas-ormas Islam. Bagaimana tidak, seorang lesbi mengaku sebagai seorang reformis (mujadiddah). “I’m not a moderate Muslim, I’m a reformist”, katanya dalam situs resminya. Baginya, Muslim moderat dinilai masih tidak cukup berani melanggar ortodoksi keagamaan. Maka dia pun menyerukan reformasi(tajdid) dalam Islam.

Persis seperti mendiang tokoh liberal cabang Mesir yang kabur ke Belanda, setelah diputuskan murtad oleh mahkamah setempat. Dia menganjurkan, adanya revolusi nyata dalam memahami al-Qur’an. Sehingga, perilaku homoseksual tidak lagi dianggap menyimpang. Will Islam ever accept homosexuality as anything other than aberrant? Not until we have real revolution – a change in the way we think about the Qur’an in conjunction with our lives, katanya meyakinkan. (lihat: al-Qur’an Dihujat).

Menanggapi keanehan praktisi lesbian asal Kanada ini, tentunya Muslim yang sehat mentalnya akan bertanya-tanya: “How did she Islamize homosexuality?” Apakah harus didahului dengan mengucapkan basmalah atau bagaimana?

Arti lesbian bagi feminis

Lesbian dalam ideologi feminisme ibarat pencapaian tertinggi seorang feminis. Sebab perempuan tidak lagi bergantung pada laki-laki, untuk mendapatkan kepuasan seksual. Oleh karena itu, kaum feminis memandang bahwa lesbian adalah wujud pembebasan perempuan & sekaligus sebagai ekspresi pemberontakan terhadap konstruksi perempuan yang didefinisikan masyarakat patriarkis.

Dalam lesbian terkandung nilai-nilai yang membebaskan perempuan. Tidak ada dominasi laki-laki. Perempuan benar-benar bebas berekspresi & tidak harus menuruti kemauan laki-laki. (JP 58: 14)

Seorang doktor feminis yang gemar membuat puisi-puisi jorok ini menjelaskan tentang “keunggulan” lesbian.Menurutnya, etika lesbian adalah “etika resistensi & self creation (pembentukan diri sendiri). Etika lesbian tidak berangkat dari suatu set peraturan mana yang benar & mana yang salah atau berangkat dari suatu kewajiban atau tindakan utilitarian atau deontologis.

Etika lesbian merupakan konsep perjalanan kebebasan yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian menghadirkan posibilitas-posibilitas baru. Etika ini hendak melakukan perubahan moral atau lebih tepat revolusi moral.

Mengutip hasil penelitian Wieringa, doktor feminis yang juga menjabat sebagai dosen di UI ini menguatkan bahwa kepuasan seksual lesbian ditentukan oleh dirinya sendiri. Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa cinta antar perempuan, tidak tunduk pada kaidah laki-laki. “Percintaan antar perempuan membebaskan karena tidak ada kategori laki-laki & kategori perempuan”.

Lesbian tidak mengenal konsep “other” (lian) karena penyatuan tubuh perempuan dengan perempuan merupakan penyatuan yang kedua-duanya menjadi subjek & berperan menuruti kehendak masing-masing. Keunggulan lesbian dibanding heteroseksual adalah perempuan terbebas dari belenggu suami & keluarga. Pola-pola patriarkal yang memaksa perempuan untuk mengalah demi mengurus suami & anak-anak tidak berlaku dalam kehidupan lesbian. (JP 58:14)

Maka seorang feminis & pejuang kesetaraan gender yang tidak menerima lesbianisme akan dicap sebagai feminis munafiq. Seorang feminis Kristen menuturkan: “Untuk itulah seharusnya perjuangan hak-hak lesbian mesti selalu diletakkan dalam perjuangan pembebasan kaum perempuan. Perjuangan kaum lesbian akan kehilangan landasan ideologisnya jika diletakkan di luar pergerakan pembebasan kaum perempuan.

Dan perjuangan pembebasan perempuan yang mengabaikan perjuangan lesbian adalah palsu. Bagaimana mungkin mereka dapat menyebut diri sebagai pejuan hak asasi perempuan sementara mereka sama sekali tidak mencintai perempuan yang diperjuangkannya itu”. (JP 58: 39)

Homoseksual yang Islami menurut Feminis

Di Indonesia, para pendukung kebangkitan kaum Nabi Luth terus bertambah. Baik secara individual maupun berjamaah yang terorganisir melalui LSM & paguyuban-paguyuban LGBT. Seorang profesor dari salah satu Universitas Islam Negeri (UIN) dalam sebuah wawancaranya secara sadar mengatakan: “Allah hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia”. Menurutnya, setiap manusia, apapun orientasi seksualnya sangat potensial untuk menjadi religius.

Bagi ibu profesor ini, “Tidak ada perbedaan antara lesbian & bukan lesbian di hadapan Tuhan. Bicara soal taqwa hanya Tuhan yang punya hak prerogatif menilai, bukan manusia. Manusia cuma bisa berlomba berbuat amal kebajikan sesuai perintah Tuhan (fastabiqul khairat). Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang saleh atau taqwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama…”.

Dia juga menegaskan: “Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini”, kata doktor terbaik IAIN Syarif Hidayatulah 1996/1997 ini.(JP 58:122-127)

Dalam kesempatan lain, tepatnya setelah usainya acara “ICRP Conference 2011: Bahaya Instrumentalisasi Agama”, yang diadakan pada 15 Desember 2011 silam, ibu profesor ini diwawancara oleh seorang praktisi homoseksual tentang masalah LGBT. Saat ditanya apa motivasinya sehingga berani vokal bicara soal hak-hak kelompok LGBT, ibu yang biasa “berjilbab” ini mengatakan:

“Ya.. saya melakukan itu semua karena saya yakin itu adalah ajaran dari agama saya. Jadi, pertama sebagai seorang muslim saya menyadari bahwa Islam adalah agama yang membebaskan kelompok yang mustadh’afin. Kelompok yang tertindas, kelompok yang marginal, yang mengalami diskriminasi di masyarakat.

Yang kedua, sebagai warga negara Indonesia, saya yakin bahwa persamaan untuk semua warga negara itu dijamin di muka hukum… Karena itu juga merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk menjadi negara yang demokratis, menjadi bagian dari negara yang menegakkan human right.

Karena Indonesia juga merativikasi hampir semua kovenan internasional mengenai hak sosial, politik & budaya. Jadi sebagai seorang muslim, sebagai seorang warga negara Indonesia & sebagai seorang manusia, saya menyakini bahwa perjuangan untuk melepaskan manusia dari segala macam bentuk diskriminasi, eksploitasi & kekerasan itu adalah bagian dari kerja-kerja kemanusiaan kita”.

Ketika dia ditanya apa tantangan terberat saat memperjuangkan hak-hak kelompok LGBT? Bu profesor ini menjawab bahwa tantangan itu juga datang dari kelompok-kelompok yang juga mengaku sebagai pejuang HAM & pendukung demokrasi.

Inilah yang disesalkan ibu profesor ini.“Kenapa mereka jadi tidak konsisten seperti itu!” Orang-orang seperti itu dia disebut: “Tidak mengerti apa itu demokrasi, bahkan mereka juga tidak paham esensi agamanya sendiri. Sebab orang yang beragama itu tidak akan melakukan tindakan yang diskriminatif”.

Saat ditanya apa pandangan Islam terhadap LGBT, ibu profesor ini menjelaskan bahwa “Bicara tentang Islam, ujung-ujungnya berarti bicara masalah interpretasi. Pertanyaannya, interpretasi siapa yang kita pakai?! Dan dalam Islam, terdapat banyak interpretasi.

Sayangnya interpretasi yang dikembangkan kelompok-kelompok moderat & pro demokrasi itu tidak banyak tersosialisasi secara luas di masyarakat. Inilah yang menjadi problem! Interpretasi yang berkembang & tersosialisasikan di masyarakat, justru interpretasi yang sangat tidak compatible dengan prinsip-prinsip HAM & demokrasi”, paparnya dengan emosional.

Tentu sangat naif, seorang profesor & mengenalkan dirinya pernah menyandang gelar doktor terbaik dari sebuah universitas Islam terkemuka di Indonesia memandang Islam sebatas interpretasi yang bermuara pada relativisme.

Sehingga dengan pandangannya ini, tidak ada lagi yang pasti & permanen dalam agama. Semuanya dikembalikan pada kepentingan si penafsir & ditundukkan pada realitas zaman. Akhirnya, teks harus tunduk pada realitas, & agamalah yang harus tunduk mengikuti jaman & tempat, bukan sebaliknya.

Demikianlah sekilas contoh kerancuan pola pikir seorang profesor & fenomena kejahilan aplikatif. Dalam kitab Tahzib Madarij al-Salikin, Syeikh Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa jahil itu adalah memandang baik sesuatu yang mestinya buruk & menganggap sempurna sesuatu yang semestinya kurang.

Jadi kejahilan bukan sebatas kosongnya akal dari wacana-wacana akademik. Bisa jadi kumpulan orang-orang seperti ini adalah mereka yang disebut sebagai golongan jahil murakkabalias bodoh kuadrat.

Dalam kitab Ihya Ulumiddin, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka itulah sebenarnya golongan yang tidak tahu & tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. Sebaliknya menganggap ketidaktahuannya sebagai kepakaran.

Inilah sejatinya kumpulan orang-orang yang kalbunya sedang sakit. Penyakit kalbu diawali dengan ketidaktahuan tentang Sang Khalik (al-jahlu billah), & bertambah parah lagi dengan mengikuti hawa nafsu. Sebaliknya kalbu yang sehat diawali dengan mengenal Allah (ma’rifatullah), & vitaminnya adalah mengendalikan nafsu. (lihat al-munqidz min al-dhalal)

al-Qur’an: Homoseksual

“Dan (Kami juga telah mengutus) Lut (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?” Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”. QS. Al-A’raf: 80-81

Arti fahisyah dalam ayat tersebut adalah homoseksual seperti yang dijelaskan pada ayat selanjutnya (81), demikian juga ditekankan dalam QS. al-Syu’ara: 165 & QS. al-Ankabut: 29. Dalam tafsir al-Kasysyaf karya Imam Zamakhsyari (w. 1143M), makna al-fahisyah dalam ayat tersebut adalah tindak kejahatan yang melampaui batas akhir keburukan (al-sayyi’ah al-mutamadiyah fi l-qubhi).

Ayat: ata’tuna l-fahisyata (mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah itu) berarti bentuk pertanyaan yang bersifat pengingkaran & membawa konsekwensi yang sangat buruk. Sebab, perbuatan fahisyah tidak pernah dilakukan siapapun sebelum kaum Nabi Luth. Janganlah mengawali suatu perbuatan dosa yang belum dilakukan kaum manapun di dunia ini.

Di penghujung ayat 81 surat al-A’raf, “bal antum qaumun musrifun”, (=malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas), dijelaskan oleh imam Zamakhsyari bahwa Kaum nabi Luth adalah kaum yang punya kebiasaan israf, yakni melampaui batas dalam segala hal. Di antaranya adalah berlebih-lebihan dalam melampiaskan syahwat hingga melampaui batas kewajaran & kepatutan. (lihat: Tafsir Kasysyaf)

Penutup

Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa mendapati orang yang melakukan perbuatan seperti kaum Nabi Luth, maka bunuhlah kedua-duanya, baik subjek maupun objeknya”. (HR. Tirmidzi)

Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad & Imam Ishaq, tata cara penegakan hukuman bagi pelaku homoseksual adalah dengan cara dirajam, baik pelakunya sudah menikah atau belum. Sementara para fuqaha’ dari kalangan Tabi’in, seperti Imam Hasan Basri, Imam Ibrahim an-Nakh’i & ulama Kufah berpendapat bahwa hukuman bagi mereka seperti hukum zina.

Semua sepakat, hukuman bagi pelaku homoseksual, hukuman mati. Perbedaan pada teknis pelaksanaan & pertimbangan pada status pernikahan si pelaku. Hukuman bagi perilaku seksual yang menyimpang & menyalahi hukum & hikmah penciptaan, seperti homo & lesbi dalam Islam, sangat jelas & tidak perlu diperdebatkan.

Adanya suara-suara yang menghalalkan homoseksual, lebih bersumber dari jiwa yang sakit, emosi yang tidak stabil & nalar yang dangkal. Wallahu a’lam bi l-sawab.

Dpras says:

June 2, 2012 at 18:26

Saya agak kurang jelas, bisa tolong dijelaskan sikap Islam terhadap ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, atau orang yang memiliki ketertarikan seksual pada sesama jenis tapi tidak melakukan perilaku seks dengan sesama jenis, misalnya remaja yang bermimpi basah mengenai hubungan seks dengan sesama jenis, atau (maaf) penisnya ereksi saat melihat teman sesama jenisnya. apakah dengan demikian mereka ini harus dihukum mati atau disuruh bertobat, ataukah diperlakukan sebagai pengidap kelainan, bukannya kriminal?

Reply

August 14, 2012 at 22:53

ketertarikan sesama jenis itu secara sosiologis bisa mengakibatkan distorsi moral, kerusakan struktur keluarga, & juga penyakit seksual menular. Secara psikologis, individu yang berkonsep diri gay punya kecenderungan bunuh diri DELAPAN kali lebih besar daripada pria heteroseksual. Ini semua ada bukti empirisnya. Tapi demi HAM (atau demi kapitalisme & industri eksploitasi seks), tak ada aktivis LGBT yang menyenggol fakta ilmiah ini.

Sebenarnya dalam sejarah, banyak ahli psikologi terkenal yang berhasil menangani kasus-kasus homoseksual. Sejak tahun 70-an, karena dilarang oleh APA (American Psycholgical Association), praktek konseling dengan tujuan mengubah orientasi seks dilarang. Padahal dalam banyak kasus, satu-satunya jalan seorang pribadi berkonsep diri gay untuk hidup tanpa depresi adalah menghilangkan sumber rasa sukanya pada sesama jenis. Saya punya banyak contohnya.

Karena fakta-fakta diatas (seperti merusak struktur keluarga, dll) gerakan LGBT itu haram. Haramnya mungkin melebihi khamr karena sudah terbukti dalam banyak kebudayaan sesudah Gomorah & Sodom, seperti kebudayaan Yunani dsb, kehancuran mereka dimulai dari tak terkontrolnya hasrat seksual mereka.

Sekarang banyak yang berkelit, demi penyamarataan Hak, kita dilarang membuka fakta (baca:aib) mereka. Beberapa mantan gay (exgay) saja mengakui bahwa pergaulan gay & lesbian hampir semuanya trial and error (coba-coba sama siapa saja). Jika itu masalahnya, mengapa tidak mengelompokkan mereka dengan orang -orang hetero yang kecanduan seks dll??

Menyadarkan mereka harus tepat guna, diberikan pemahaman bahwa ADA JALAN menuju PERUBAHAN.

[May 10, 2012 | Henri Shalahuddin, MIRKH]

Tinggalkan komentar